Jepang
Pemangkasan Dukungan Mahasiswa PhD Asing Rugikan Akademis Jepang
Pemangkasan Dukungan Mahasiswa PhD Asing Rugikan Akademis Jepang

Mahasiswa, PhD, dan Masa Depan Akademis Jepang Terancam oleh Kebijakan Baru

Rencana pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan finansial bagi mahasiswa PhD asing telah menimbulkan kekhawatiran besar dalam dunia akademis. Kebijakan ini dinilai akan merusak kemajuan pendidikan tinggi dan mengikis keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan utama lingkungan akademik di Jepang. Sebelumnya, mahasiswa asing dalam program doktoral menerima tunjangan hidup hingga 2,4 juta yen per tahun. Namun, rencana baru yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Jepang mengarah pada eksklusivitas bagi warga negara Jepang, dan jika disetujui, perubahan ini akan berlaku mulai tahun fiskal 2027.

Kebijakan yang membatasi tunjangan hanya untuk mahasiswa berkewarganegaraan Jepang ini mendapat kritik keras dari komunitas mahasiswa, terutama yang sedang menempuh program PhD. Emi Omuro, seorang mahasiswa PhD asal Jepang di Universitas Ochanomizu, menyatakan bahwa diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan adalah hal yang tidak dapat diterima di dunia pendidikan dan akademis. Ia bahkan mengorganisasi demonstrasi di Tokyo untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap keputusan tersebut.

Penolakan Mahasiswa dan Akademisi terhadap Diskriminasi Kewarganegaraan

Dukungan terhadap mahasiswa asing tidak hanya soal keadilan, tetapi juga esensial dalam mendorong kemajuan akademis di Jepang. Omuro menegaskan bahwa hubungan antar mahasiswa lintas negara adalah bagian penting dari pengalaman pendidikan. Dalam aksi unjuk rasa di Stasiun JR Ikebukuro, para demonstran membawa plakat bertuliskan “Jangan diskriminasi” dan “Akademis tidak mengenal batas.” Pesan-pesan tersebut menggambarkan keresahan mendalam terhadap masa depan dunia PhD yang eksklusif dan tidak inklusif.

Kontroversi ini juga masuk dalam diskusi parlemen pada Maret lalu. Haruko Arimura, anggota Partai Demokrat Liberal, mempersoalkan jumlah besar mahasiswa asing, terutama dari Tiongkok, yang menerima subsidi. Ia menyatakan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan “keamanan ekonomi nasional,” dengan menekankan bahwa program ini seharusnya hanya untuk mendukung warga negara Jepang. Namun, pendekatan ini dikritik karena melemahkan semangat pendidikan global dan mengorbankan potensi kontribusi mahasiswa PhD asing dalam dunia akademis Jepang.

Dampak Kebijakan Terhadap Pendidikan dan Reputasi Akademis Jepang

Kebijakan baru ini justru bertentangan dengan tujuan jangka panjang pemerintah Jepang untuk meningkatkan jumlah mahasiswa asing dalam program PhD. Pemerintah sebelumnya menargetkan peningkatan rasio mahasiswa internasional dalam program doktoral menjadi 33 persen pada 2033, naik dari 21 persen pada 2023. Jika kebijakan ini diterapkan, maka target tersebut akan sulit tercapai dan bisa merusak reputasi pendidikan tinggi Jepang di kancah internasional.

Norihiro Nihei, profesor dari Universitas Tokyo, memperingatkan bahwa diskriminasi berbasis kewarganegaraan bisa berdampak pada penurunan kualitas akademis Jepang dalam jangka panjang. Menurutnya, banyak mahasiswa PhD asing yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan ide dan pengetahuan dalam sistem pendidikan Jepang. Sebagai contoh nyata, seorang mahasiswa pascasarjana asal Tiongkok menyatakan bahwa ia akan membatalkan rencana melanjutkan studi PhD karena kebijakan tersebut. Ia menyebutkan inflasi harga dan hilangnya dukungan finansial sebagai alasan untuk lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan.

Gejala Xenofobia dan Ancaman Brain Drain di Lingkungan Akademis

Yusuke Kazama, dosen Universitas Prefektur Nara, menilai kebijakan ini sebagai cerminan meningkatnya xenofobia di Jepang. Ia menyebut platform “Japanese First” yang diusung oleh partai sayap kanan Sanseito sebagai penyebab semakin maraknya kebijakan anti-imigran dalam sistem pendidikan. Kazama menegaskan bahwa mahasiswa asing yang datang untuk belajar dan memberikan kontribusi dalam dunia akademis seharusnya didukung, bukan dikecualikan.

Sejak diluncurkan pada tahun fiskal 2021, program pemerintah ini telah memberikan bantuan hidup sebesar 1,8 hingga 2,4 juta yen, termasuk dukungan biaya penelitian dengan total hingga 2,9 juta yen. Meski biaya penelitian tetap tersedia untuk mahasiswa asing, pencabutan tunjangan hidup akan memberikan tekanan besar kepada mereka, membuat banyak yang harus bekerja sambil belajar demi bertahan hidup. Hal ini akan berdampak langsung pada penurunan kualitas pendidikan dan riset yang dihasilkan oleh mahasiswa PhD asing di Jepang.