Jepang
Presenter Jepang Gugat iTV Karena Pelecehan di Lokasi Syuting
Presenter Jepang Gugat iTV Karena Pelecehan di Lokasi Syuting

Kasus pelecehan di industri penyiaran kembali mencuat setelah seorang presenter Jepang menggugat iTV atas perlakuan tidak pantas yang dialaminya. Gugatan ini menarik perhatian publik karena pelecehan terjadi di depan kamera dan bahkan ditayangkan tanpa sensor. Situasi ini mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap presenter perempuan dalam sistem kerja media Jepang, khususnya di wilayah daerah.

Kasus Pelecehan di Balik Layar iTV Ehime

Seorang presenter Jepang menggugat iTV Ehime karena menjadi korban pelecehan verbal dan tindakan tidak senonoh saat menjalani tugas sebagai pembawa acara. Selama enam tahun menjadi presenter lepas, ia mengaku terus mendapatkan perlakuan tidak pantas dari dua bintang tetap acara—seorang selebriti dan seorang biksu. Yang lebih mengejutkan, adegan pelecehan tersebut tidak hanya dibiarkan, tetapi juga ditayangkan secara publik, lengkap dengan subtitle yang menyudutkan. Frasa seperti “hebat di ranjang” dan “sadis” menjadi bagian dari tayangan yang dinilai merendahkan martabat korban.

Ketika insiden seperti ini terjadi dan dibiarkan, artinya budaya kerja di industri penyiaran Jepang perlu ditinjau kembali. Apa yang seharusnya menjadi lingkungan profesional justru berubah menjadi ruang pelecehan yang terlegitimasi. Dengan presenter Jepang menggugat iTV, kasus ini membuka tabir buram tentang bagaimana perempuan dalam dunia hiburan kerap ditempatkan pada posisi yang lemah.

Pelecehan Dibiarkan, Kesehatan Mental Terkorbankan

Gugatan yang diajukan tidak hanya soal martabat, tetapi juga menyangkut kesehatan mental presenter Jepang tersebut. Ia menyampaikan bahwa pelecehan yang berulang membuatnya mengalami gangguan serius, mulai dari insomnia, muntah, hingga gangguan pendengaran. Tindakannya melapor ke produser acara pun tidak membuahkan hasil; permintaannya untuk menghentikan pelecehan diabaikan.

Pelecehan yang dibiarkan tidak hanya melukai psikologis, tetapi juga membuktikan bahwa presenter perempuan di Jepang masih belum memiliki ruang aman di lingkungan kerja. Melalui gugatan senilai 41,1 juta yen, korban berusaha menuntut pertanggungjawaban dan pemulihan atas dampak traumatis yang ia alami. Dengan presenter Jepang menggugat iTV, harapannya adalah agar kasus ini menjadi titik balik untuk perlindungan yang lebih baik.

Kultur Penyiaran Jepang Butuh Perubahan Serius

Dalam gugatannya, sang presenter menekankan perlunya perubahan kultur di industri penyiaran Jepang. Banyak presenter perempuan lepas di daerah yang harus menoleransi perlakuan tidak pantas demi mempertahankan pekerjaan. Ia berharap, dengan presenter Jepang menggugat iTV, perhatian publik akan tertuju pada pentingnya perubahan sistemik.

Kasus ini bukan hanya soal individu, tetapi gambaran nyata tentang lemahnya mekanisme perlindungan dan akuntabilitas dalam industri penyiaran. Sang presenter menegaskan bahwa ia ingin mendapatkan kembali harga dirinya dan mendorong reformasi sistem kerja, agar pelecehan tidak lagi dianggap sebagai bagian "normal" dari hiburan.

Respons iTV dan BPO Dipertanyakan Publik

Pihak iTV Jepang menyatakan akan meninjau isi gugatan sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Namun, yang juga disorot adalah keputusan organisasi penyiaran BPO yang sebelumnya tidak menemukan pelanggaran hak asasi dalam pengaduan serupa pada tahun 2022. Kini, keputusan tersebut kembali dipertanyakan oleh publik seiring munculnya presenter Jepang yang menggugat iTV dengan bukti dan kronologi lengkap.

Situasi ini menggarisbawahi bahwa kasus pelecehan tidak bisa lagi disikapi setengah hati. Jika lembaga pengawasan pun abai, maka korban akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Dengan adanya gugatan ini, tekanan publik mungkin menjadi pemicu perbaikan menyeluruh dalam regulasi dan etika industri penyiaran Jepang.

 

Sumber: ©︎ Tokyo Reporter | Dok: © iTV Ehime