Putusan MA Tolak Tunjangan Industri Seks di Masa Pandemi
Mahkamah Agung Jepang menolak gugatan tunjangan pandemi dari industri seks, menimbulkan debat konstitusional dan diskriminasi.


Keputusan Mahkamah Agung Jepang yang menyatakan bahwa penolakan tunjangan pandemi untuk industri seks bukanlah tindakan inkonstitusional menimbulkan perdebatan panjang. Isu ini menyingkap persoalan diskriminasi, hak pekerja, dan batasan dalam pemberian bantuan publik. Di tengah sorotan terhadap perlakuan negara terhadap sektor-sektor ekonomi legal, putusan ini dianggap oleh banyak pihak sebagai cermin dari sikap moral negara terhadap pekerjaan berbasis keintiman.
Sengketa Hukum Tunjangan Pandemi dan Industri Seks
Sejak awal pandemi, industri seks Jepang mengalami tekanan hebat akibat pembatasan sosial dan stigma sebagai penyebar virus Covid-19. Meskipun sebagian besar pelaku bisnis seperti klub host, hostess, hingga layanan soapland beroperasi secara legal dan membayar pajak, mereka tetap dikecualikan dari skema bantuan tunai pandemi pemerintah Jepang.
Pada tahun 2020, sekelompok penyedia layanan pendamping legal di wilayah Kansai mengajukan gugatan hukum atas ketidakadilan ini. Gugatan tersebut mengklaim bahwa diskriminasi terhadap bisnis legal hanya karena berada di sektor seksual melanggar prinsip kesetaraan dan hak atas bantuan sosial selama krisis nasional.
Mahkamah Agung Tegaskan Legal Tapi Tidak Wajib Dibantu
Putusan terbaru dari Mahkamah Agung Jepang menolak gugatan tersebut dan menegaskan bahwa pemerintah memiliki wewenang menentukan siapa saja yang berhak menerima bantuan. Dalam pernyataan resmi, pengadilan menyatakan bahwa “pemerintah diizinkan untuk menentukan cakupan penerima manfaat dari perspektif kebijakan,” yang artinya dukungan publik tidak wajib diberikan pada semua jenis usaha, termasuk industri seks.
Pemerintah menilai bahwa mendanai bisnis terkait seksualitas, meskipun legal, tidak sesuai dengan norma publik yang dipegang negara. Ini menjadi dasar dalam mengecualikan sektor seks komersial dari bantuan pandemi. Keputusan ini mencerminkan konflik antara hak pekerja, batasan moral negara, dan penafsiran terhadap konstitusi.
Hakim Perempuan Menentang Putusan Mayoritas
Menariknya, dari lima hakim yang memutus perkara ini, hanya satu hakim yang berbeda pendapat: Mitsuko Miyagawa, satu-satunya perempuan dalam panel. Ia menyatakan bahwa “tidak ada dasar rasional untuk mengecualikan industri seks,” karena bisnis tersebut berizin resmi, membayar pajak, dan tunduk pada peraturan hukum. Bagi Miyagawa, penolakan bantuan ini bertentangan dengan tujuan awal program pandemi, yaitu mendukung semua sektor terdampak.
Ia menekankan bahwa legalitas industri seks seharusnya menjadi dasar untuk mendapat perlakuan adil dari pemerintah. Dalam pandangannya, keputusan Mahkamah Agung justru memperkuat diskriminasi sistematis terhadap pekerja seks legal yang beroperasi dengan itikad baik.
Dampak Sosial dan Moral dari Putusan Pengadilan
Keputusan ini tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga pada persepsi sosial terhadap pekerja seks. Banyak akademisi dan aktivis mengecam keputusan ini sebagai bentuk “penolakan terhadap martabat individu” yang memilih bekerja di industri ini secara sukarela. Seorang dosen hukum tata negara dari Universitas Nihon menyatakan bahwa “alasan moral semata tidak cukup untuk membenarkan pengecualian sektor ini dari bantuan.”
Dengan lebih dari 33.000 bisnis seks legal yang tercatat pada tahun 2024, Jepang kini menghadapi tantangan dalam merumuskan ulang kebijakan yang inklusif, adil, dan berdasarkan hak asasi. Perdebatan ini menjadi pengingat akan pentingnya memisahkan moral pribadi dari kebijakan publik dalam merancang bantuan sosial di masa darurat.
Sumber: ©︎ Tokyo Kinky | Dok: © Wikipedia
Rekomendasi

Pria California Ditangkap Usai Curi Game Nintendo Switch dari Perpustakaan
2 jam yang lalu
Clair Obscur Jadi Inspirasi Square Enix Dalam Pengembangan Game Baru Final Fantasy
2 jam yang lalu
Frontier Hapus Konten AI di Jurassic World Evolution 3
2 jam yang lalu
Pesan Politik Final Fantasy Tactics Masih Relevan
2 jam yang lalu