Romansa di Ambang Waktu: Dekonstruksi Relasi dalam Sore: Istri dari Masa Depan
“Bagaimana jika masa depan datang lebih cepat, namun membawa bentuk cinta yang masih terikat masa lalu?”
Pertanyaan ini menjadi gerbang atau pintu masuk dalam film Sore: Istri dari Masa Depan (2025), sebuah film layar lebar karya Yandy Laurens yang sebelumnya telah dihadirkan dalam bentuk web series yang dirilis pada tahun 2017 serta diadaptasikan juga ke dalam novel.
Film ini memadukan antara kisah romansa dan juga perjalanan waktu (time travel) yang bukan hadir sekadar sebagai elemen sci-fi, tetapi sebagai gambaran eksplorasi relasi manusia di jembatan antara takdir, pilihan, dan struktur sosial yang membentuknya.
Narasi dan Struktur Waktu
Yandy Laurens kembali menggunakan pendekatan 8 sequence yang juga digunakan olehnya pada film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2024). Penggunaan 8 sequence ini bukan sekadar untuk mengatur tempo film, melainkan juga sebagai mekanisme untuk mengatur distribusi emosi penonton. Menyajikan hangatnya pertemuan hingga rasa pahit saat kehilangan.
Berbeda dari beberapa film rom-com atau drama Indonesia pada umumnya yang cenderung memanfaatkan satu klimaks pada cerita, Yandy Laurens dalam Sore: Istri dari Masa Depan (2025) memilih untuk membangun ritme naik-turun yang menggambarkan ketidakpastian sebuah hubungan itu sendiri. Kata “ambang waktu” pada judul kritik film ini bukanlah sekadar konsep naratif, melainkan sebuah gambaran dari relasi atau hubungan yang selalu berada di ambang batas antara keberlangsungan atau kehancuran.
Representasi Relasi dan Gender
Hadirnya karakter Sore sebagai “istri dari masa depan” menjadi sebuah pertanyaan di beberapa kalangan, “apakah karakter Sore digambarkan sebagai seorang perempuan yang tunduk dan takluk pada seorang lelaki hingga harus mengulang waktu berkali-kali hanya untuk bersamanya di masa depan?”. Penulisan cerita yang jenius oleh Yandy Laurens dapat menjawab sekaligus menghindari pertanyaan menjebak ini.
Dalam sudut pandang penonton, tidak pernah diperlihatkan bagaimana karakter Sore dan Jonathan bertemu hingga jatuh cinta di timeline utama. Pengulangan waktu pertama yang dialami Sore memperlihatkan bahwa ia memiliki rasa cinta pada Jonathan sebagai suaminya yang telah menjalin ikatan janji pernikahan meskipun Jonathan pada saat tersebut belum mengenal Sore. Pengulangan waktu kedua hingga seterusnya yang dialami Sore bukan berarti Sore merupakan seorang perempuan yang begitu saja tunduk pada satu lelaki yang tak mau berubah, melainkan ia percaya bahwa manusia dapat berubah karena dicintai.
Karakter Sore juga hadir bukan sekadar menjadi love interest Jonathan dalam film ini. Ia membawa misi naratif sekaligus beban ekspektasi bahwa perempuan masa depan yang diharapkan lebih bebas, tetapi tetap hidup dalam kerangka emosional yang familiar.
Film ini terbilang cukup menarik untuk didalami sebagai refleksi bahwa berjalannya waktu tidak selalu linear dengan kemajuan relasi gender. Adegan-adegan romansa diatur sedemikian rupa untuk menegaskan ketimpangan emosional yang halus. Hal ini dapat dilihat dari siapa yang lebih banyak memulai percakapan, membuat keputusan, hingga menanggung konsekuensi sebuah pilihan.
Estetika Visual
Tak berbeda jauh dari film-film karya Yandy Laurens sebelumnya, bersama dengan Director of Photography andalannya, Dimas Bagus Triatma Yoga, mereka menyajikan keindahan visual yang luar biasa. Sinematografi dalam film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) menjadi salah satu kekuatan utamanya yang juga digembor-gemborkan oleh para penggemar di berbagai situs perfilman. Penggunaan latar Kroasia dengan cahaya sore dan senja tak hanya menjadi estetika pemandangan saja, melainkan sebuah jembatan komunikasi yang menjadi bagian dari bahasa film.
Sandikala saat senja pada momen-momen intim dalam film menggambarkan sebuah keadaan yang terasa indah, namun sementara. Teknik framing dalam film yang kerap menempatkan kedua tokoh utama dalam sebuah ruang yang dibatasi elemen visual seperti jendela atau pintu mempertegas ide “ambang” bahwa hubungan mereka tidak benar-benar menyatu, selalu ada pembatas yang terasa memisahkan mereka meski tak terlihat.
Suara dan Keheningan
Musik yang digunakan dalam momen-momen intim di film ini memberikan kesan yang mendalam untuk setiap bagiannya. Diawali dengan adegan karakter Jonathan yang sedang memotret di arktik diiringi lagu Forget Jakarta karya Adhitia Sofyan, lagu yang juga digunakan pada web seriesnya tahun 2017 lalu. Penggunaan lagu berjudul Forget Jakarta ini saja sudah memberikan makna bahwa Jonathan kabur akan kehidupannya di Jakarta dan memutuskan untuk tinggal di Kroasia.
Lagu Pancarona yang digunakan di babak kedua film pun mengedepankan kesan emosional yang mendalamnya juga dengan memperlihatkan karakter Sore yang mulai ragu akan pilihan dirinya dan merasa lelah dengan pengulangan waktu yang terjadi. Hal ini juga diperkuat oleh teknik pengambilan gambarnya yang terlihat goyang dan terengah-engah, mendalami perasaan Sore yang benar-benar lelah dengan hal yang dihadapinya untuk selalu mengulang waktu agar Jonathan berubah.
Musik-musik tersebut bukanlah satu-satunya hal yang menambah kesan emosional. Keheningan dalam film juga memberikan perasaan emosional dari setiap tokohnya. Keheningan dalam film tak selalu berarti hampa, heningnya sebuah adegan juga dapat memberikan waktu untuk penonton bernafas, memahami apa yang terjadi di adegan tersebut atau sebelumnya. Hal ini cukup cerdas dimanfaatkan oleh Yandy Laurens untuk menjembatani ritme naik-turun dari cerita film ini.
Dekonstruksi Relasi
Hubungan antara Jonathan dan Sore tidak dibangun melalui rangkaian adegan romantis yang klise, melainkan melalui narasi yang perlahan mengupas lapisan hubungan mereka, memperlihatkan luka-luka kecil yang di masa depan ternyata adalah sebuah jurang besar. Sore, sebagai representasi seseorang yang datang dari masa depan memegang kekuasaan naratif, mengetahui apa yang akan terjadi nanti, namun juga terjebak dalam sebuah dilema “apakah mengubah masa lalu berarti menghapus kebahagiaan yang pernah dialaminya di masa depan?”
Sesuai judul kritik film ini, Sore: Istri dari Masa Depan (2025) melakukan dekonstruksi terhadap relasi romantis, menyatakan bahwa cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga manajemen waktu, pengambilan keputusan, dan kompromi antara kebebasan personal dengan komitmen bersama.
Melalui siklus pengulangan waktu, film ini memperlihatkan bahwa relasi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan arena negosiasi antara keinginan pribadi dan tuntutan komitmen. Setiap pengulangan yang dijalani Sore menekankan bahwa perubahan dalam hubungan tidak datang secara otomatis, melainkan harus dipicu oleh kesadaran dan keberanian untuk mengubah pola lama.
Sosial - Budaya dalam Sore: Istri dari Masa Depan
Meski film Sore: Istri dari Masa Depan berlatar fiksi dan bergenre fantasy dengan adanya perjalanan waktu, film ini dapat mengangkat isu yang relate di hubungan asmara modern. Banyak pasangan yang terjebak antara cita-cita peribadi dan komitmen jangka panjang.
Representasi Sore sebagai perempuan yang proaktif, datang dari masa depan untuk menyelamatkan hubungan dapat dilihat sebagai pembalik narasi gender konvensional dalam romansa layar lebar Indonesia, di mana tokoh perempuan sering menjadi pihak pasangan yang menunggu atau pasif. Selain itu, film ini juga menyinggung dilema diaspora emosional mengenai hubungan jarak jauh yang menuntut negosiasi ulang peran dan ekspektasi.
Kesimpulan
Sebagai penutup, Film Sore: Istri dari Masa Depan mengajak kita untuk melihat kembali hubungan yang kita jalani, apakah kita mempertahankan hubungan ini karena benar-benar bahagia, atau karena kita terbiasa menanggung beban yang sama berulang kali?
Akhir film ini menyadarkan kita bahwa terkadang kita baru bersyukur pada pasangan kita setelah sesuatu terjadi. Banyak pasangan yang sering tak menghiraukan pasangannya bahkan setelah menikah, mengedepankan sifat patriarki yang sebenarnya dapat merugikan kedua belah pihak.
Jonathan baru benar-benar berubah setelah ia merasa kehilangan Sore, meskipun di saat tersebut Jonathan sudah tak mengenali Sore. Hal ini cukup sering dijumpai di khalayak umum, merasa bersalah setelah kehilangan seseorang yang dicintai dan merubah hidupnya setelah muncul rasa kehilangan tersebut.
Romansa di Ambang Waktu bukan hanya deskripsi estetika visual, tetapi juga metafora perjalanan emosional karakter-karakternya. Film ini, melalui dekonstruksi relasi dan temporalitas, membuktikan bahwa romansa di layar lebar masih bisa segar, menantang, dan sarat makna.
Rekomendasi

Microsoft Dorong Studio King Gunakan AI Setiap Hari
5 jam yang lalu
Google Ketatkan Aturan Play Store, Aplikasi Sideload Wajib Verifikasi
6 jam yang lalu
ConcernedApe Bawa Kabar Baru Haunted Chocolatier, Hadirkan Fitur Mancing di Game?
6 jam yang lalu
Mangaka Until the Gal and I Become a Married Couple Meninggal Dunia
7 jam yang lalu