Jepang
Kasus Papakatsu Tokyo: Siswi SMA dan Pria 45 Tahun
Kasus Papakatsu Tokyo: Siswi SMA dan Pria 45 Tahun

Kota Tokyo kembali diguncang dengan kasus papakatsu yang menyeret nama seorang pria dewasa berusia 45 tahun dan siswi SMA berumur 15 tahun. Praktik papakatsu—yang merupakan hubungan berbayar antara pria dewasa dan gadis muda—menjadi sorotan publik karena semakin sering terjadi di Jepang, terutama di kalangan remaja. Kasus di Tokyo ini menjadi refleksi dari kegentingan sosial yang mengancam masa depan generasi muda Jepang.

Kepolisian Tokyo mengungkap kasus papakatsu yang melibatkan seorang pria 45 tahun bernama Naoki Kanzaki dengan seorang siswi SMA berusia 15 tahun. Dugaan tersebut muncul setelah keduanya diketahui menginap bersama di sebuah hotel kawasan Shinjuku. Kasus papakatsu ini menyoroti praktik hubungan transaksional antara pria dewasa dan anak di bawah umur yang terus terjadi di Tokyo.

Menurut laporan, Kanzaki memberikan uang tunai sebesar 25000 yen atau sekitar tiga juta rupiah kepada sang siswi sebagai bagian dari kesepakatan papakatsu. Kasus papakatsu ini bukan hanya mencerminkan masalah hukum, tetapi juga memperlihatkan tantangan sosial yang dihadapi masyarakat perkotaan Jepang, terutama di wilayah Tokyo dan sekitarnya.

Dalam investigasi, terungkap bahwa Kanzaki mengenal korban melalui media sosial, platform yang kini marak digunakan untuk praktik papakatsu. Korban diketahui secara terbuka membuat unggahan yang menawarkan diri untuk hubungan papakatsu, yang kemudian direspons oleh Kanzaki. Praktik papakatsu ini menjadi ancaman nyata karena memanfaatkan celah komunikasi digital untuk menjaring gadis-gadis muda.

Kasus papakatsu melalui media sosial menunjukkan betapa rentannya remaja terhadap eksploitasi, terutama ketika tidak ada pengawasan dari lingkungan sekitarnya. Platform digital yang seharusnya digunakan secara bijak kini berubah menjadi lahan pertemuan untuk praktik papakatsu yang semakin masif di Jepang.

Meningkatnya kasus papakatsu mengindikasikan lemahnya edukasi dan perlindungan terhadap remaja di Jepang. Pemerintah setempat dianggap belum memberikan perhatian serius terhadap penyebaran fenomena papakatsu, terutama di kota besar seperti Tokyo. Kurangnya sosialisasi mengenai bahaya papakatsu dan eksploitasi seksual menjadi pemicu utama kasus seperti yang dialami siswi SMA di Shinjuku.

Papakatsu bukan hanya masalah moral, tetapi juga bentuk kekerasan seksual terselubung yang mengorbankan remaja. Dalam kasus Tokyo ini, siswi SMA berusia 15 tahun menjadi simbol lemahnya kontrol sosial dan pendidikan seksual yang komprehensif bagi anak-anak di bawah umur.

Naoki Kanzaki yang menjadi tersangka dalam kasus papakatsu Tokyo membantah semua tuduhan. Ia menyatakan “tidak mengingat” kejadian tersebut karena telah berlangsung lebih dari satu tahun, tepatnya pada Maret 2024. Meski begitu, pihak kepolisian tetap memproses kasus ini mengingat adanya bukti kuat yang mendukung dugaan praktik papakatsu dengan anak di bawah umur.

Kasus ini menunjukkan bahwa hukum Jepang perlu diperkuat dalam menangani praktik papakatsu dan eksploitasi seksual terhadap anak. Langkah tegas harus dilakukan agar kasus papakatsu seperti di Shinjuku ini tidak kembali terulang di masa depan, khususnya di wilayah urban seperti Tokyo.

 

Sumber: ©︎ Tokyo Reporter | Dok: ©︎ Naoki Kanzaki (x)