Jepang
Lonjakan Kasus Chikan Ganggu Citra Aman Jepang
Lonjakan Kasus Chikan Ganggu Citra Aman Jepang

Jepang selama ini dikenal sebagai negara dengan transportasi publik yang efisien dan keamanan tinggi. Namun, lonjakan kasus chikan, yaitu pelecehan seksual di kereta umum, mulai menodai reputasi tersebut. Fenomena ini tak hanya berdampak pada wisatawan, tetapi juga menunjukkan celah besar dalam sistem sosial, budaya, dan hukum Jepang. Dengan meningkatnya jumlah pengunjung dan kepadatan di kereta, pelaku kejahatan ini semakin leluasa beraksi, menciptakan keresahan di tengah masyarakat.

Meningkatnya Kasus Chikan di Transportasi Jepang

Pelecehan seksual atau kasus chikan di Jepang kini menjadi topik yang sering diperbincangkan, baik oleh media lokal maupun internasional. Insiden ini kerap terjadi di kereta yang padat, terutama pada jam sibuk di kota-kota besar. Tidak sedikit korban yang merasa takut untuk berbicara karena takut akan stigma sosial, tekanan budaya, dan kurangnya dukungan hukum yang memadai.

Budaya dan Stigma Jadi Penghalang Penanganan Chikan

Masalah utama dalam penanganan kasus chikan di Jepang bukan hanya soal hukum, tetapi juga faktor budaya. Di masyarakat Jepang, banyak korban memilih diam karena takut “memalukan” keluarga atau tempat kerja. Stigma budaya, norma sosial, dan rasa malu membuat pelaporan kasus ini sangat minim, sementara pelaku justru seringkali lolos dari hukuman serius karena minimnya bukti di tempat kejadian.

Tantangan Mental dan Kerapuhan Hukum Jepang

Sebagian pelaku kasus chikan di Jepang dikaitkan dengan gangguan atau tekanan mental. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran atas tindakan tersebut. Kurangnya rehabilitasi dan penanganan psikologis terhadap pelaku menjadi masalah tersendiri. Selain itu, sistem hukum yang lemah, hukuman ringan, dan minimnya efek jera menjadikan kasus ini terus berulang tanpa solusi berarti.

 

©︎ The Japan Times