Krisis Dibalik Semangkuk Ramen: Mengapa Restoran Ramen di Jepang Kian Tertekan?
Memahami Krisis Industri Ramen di Jepang: Antara Tradisi, Biaya, dan Kelangsungan Hidup
Minggu, 12 Januari 2025 | 16:03 WIB
Pada tahun 2024, industri restoran ramen di Jepang menghadapi tantangan besar yang menyebabkan banyak pelaku usaha gulung tikar. Reputasi ramen sebagai makanan murah menjadi penghalang untuk menaikkan harga, sementara biaya bahan baku, utilitas, dan tenaga kerja terus melonjak. Menurut laporan Teikoku Databank Ltd., kebangkrutan di kalangan pengusaha ramen dengan utang minimal 10 juta yen meningkat lebih dari 30 persen, dari 53 kasus pada 2023 menjadi 72 kasus pada 2024.
Ramen, hidangan ikonik Jepang yang terdiri dari mie dalam kuah kaya rasa dengan topping daging dan sayuran, tetap menjadi favorit banyak orang untuk makan siang atau santapan larut malam. Meski begitu, harga rata-rata semangkuk ramen masih di bawah 700 yen. Namun, dengan kenaikan harga bahan baku yang pada Oktober 2024 tercatat lebih dari 10 persen dibandingkan 2022, banyak restoran harus menaikkan harga hingga mendekati 1.000 yen. Langkah ini memicu kekhawatiran bahwa ramen akan kehilangan citranya sebagai makanan sederhana dan terjangkau.
Takatoyo Sato, manajer restoran ramen Menkoi Dokoro Kiraku di kawasan Shimbashi, Tokyo, merasakan langsung tekanan tersebut. Pada Mei 2024, ia menaikkan harga ramen shoyu andalannya dari 780 yen pada 2021 menjadi 950 yen. "Saya tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga, kalau tidak, bisnis kami akan merugi," kata pria berusia 52 tahun ini, yang bekerja 17 jam sehari selama enam hari seminggu. Namun, langkah itu tidak diterima dengan baik oleh semua pelanggan tetapnya. "Banyak yang masih menganggap ramen hanyalah makanan biasa, padahal biayanya terus meningkat," tambahnya.
Menurut survei Teikoku Databank, sekitar 34 persen dari 350 restoran ramen melaporkan kerugian pada tahun fiskal 2023. Meski begitu, beberapa konsumen mulai menyadari realitas baru ini. Munayoshi Suzuki, warga Tokyo berusia 34 tahun, menganggap masyarakat selama ini terlalu dimanjakan oleh harga ramen yang murah. Ia bahkan menyamakan ramen dengan barang konsumsi lain seperti rokok atau alkohol—bukan kebutuhan pokok.
Namun, ke depan, usaha kecil dan menengah tampaknya masih enggan menaikkan harga menu mereka, berbeda dengan jaringan restoran besar yang lebih fleksibel. Sato hanya bisa berharap biaya operasional tidak semakin meningkat di tahun 2025. "Kami hanya bisa berdoa agar situasi ini tidak semakin parah," tutupnya.
Industri ramen, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jepang, kini menghadapi tantangan untuk mempertahankan keseimbangan antara kualitas, harga, dan kelangsungan bisnis.
Tumbnail: Quang Anh Ha Nguyen