Penindasan Terhadap Karya Fiksi LGBT di China
China menindak penulis karya fiksi LGBT di Haitang, mengaitkannya dengan pornografi dan melanggar hukum sastra.


Fiksi LGBT Jadi Target Baru di China
Gelombang penindakan terhadap karya fiksi bertema LGBT di China telah mengejutkan banyak pihak, terutama di platform Haitang yang selama ini dikenal sebagai ruang ekspresi perempuan melalui fiksi dan sastra. Sejak awal 2025, lebih dari 30 penulis perempuan berusia 20-an telah ditangkap karena menerbitkan cerita yang dianggap mengandung unsur pornografi. Otoritas menuduh mereka melanggar hukum pornografi dengan menyebarkan konten “cabul”, walau karya-karya tersebut lahir dari semangat sastra yang bebas berekspresi. Penindasan terhadap karya ini menimbulkan ketakutan dan trauma sosial yang mendalam bagi para penulis.
Penangkapan Penulis Fiksi di Platform Haitang
Penulis fiksi di China yang sebagian besar adalah perempuan muda mengaku ditangkap, diinterogasi, bahkan dipermalukan secara publik karena menerbitkan karya mereka di Haitang Literature City. Platform ini dikenal luas sebagai wadah sastra dan fiksi romantis sesama jenis atau danmei, sebuah genre yang menggambarkan hubungan emosional dan seksual antara pria, namun ditulis dan dikonsumsi terutama oleh perempuan. Di mata pemerintah China, karya fiksi LGBT semacam ini dianggap bagian dari pelanggaran hukum pornografi, apalagi jika mencapai lebih dari 5.000 tayangan—ambang batas yang ditetapkan sebagai “penyebaran cabul”.
Dalam kisah yang dibagikan secara anonim di Weibo, para penulis menceritakan bagaimana mereka ditangkap, diperiksa tanpa privasi, hingga diharuskan mengenakan rompi tahanan hanya karena menulis fiksi. Banyak yang dibebaskan dengan jaminan atau masih menunggu persidangan, sementara yang lain masih berada dalam tahanan. Ironisnya, beberapa dari mereka bahkan belum menghasilkan keuntungan besar, namun tetap dituduh mendistribusikan materi cabul secara ilegal.
Sastra Sebagai Ruang Bebas Perempuan di Tengah Represi
Di balik karya fiksi LGBT yang tersebar di Haitang, terdapat semangat perempuan China untuk mengekspresikan identitas mereka melalui sastra. Banyak dari penulis ini menyebut bahwa mereka menemukan kebebasan emosional melalui genre danmei yang sering kali menampilkan kerentanan dan keintiman pria secara seimbang. Bagi mereka, ini bukan hanya bentuk hiburan, tapi saluran pelepasan diri dari tekanan sosial atas peran gender tradisional, yang selama ini menempatkan perempuan dalam kerangka pernikahan dan menjadi ibu.
Namun, negara tidak melihat karya-karya ini sebagai hasil ekspresi sastra, melainkan sebagai ancaman terhadap nilai-nilai keluarga dan moral. Dalam sistem hukum yang menargetkan pornografi secara sepihak, penulis wanita tidak diberi ruang untuk menentukan sendiri apa yang dianggap “cabul”. Bahkan dalam masyarakat yang didominasi kontrol negara seperti China, upaya penghapusan fiksi LGBT ini memperlihatkan bahwa karya fiksi yang menyentuh isu LGBT menjadi medan pertempuran ideologis antara kebebasan ekspresi dan represi negara.
Reaksi Publik dan Sensor Ketat terhadap Karya LGBT
Penindakan terhadap penulis fiksi LGBT di Haitang memicu reaksi luas di dunia maya China. Tagar #HaitangAuthorsArrested sempat viral dan meraih lebih dari 30 juta tampilan di Weibo sebelum akhirnya disensor. Banyak pengguna mempertanyakan keadilan hukum terkait pornografi dan sastra, serta hak perempuan untuk berkarya dan berekspresi. Namun, postingan-postingan itu segera menghilang, dihapus oleh pemerintah China yang berusaha “membersihkan” internet dari konten yang dianggap menyimpang dari norma.
Di tengah ketakutan, beberapa penulis tetap bersuara. Mereka menyuarakan bahwa karya fiksi LGBT adalah ruang aman bagi perempuan untuk membicarakan hal-hal yang tidak bisa diutarakan dalam kehidupan nyata. Salah satu penulis bahkan menulis, “Saya baru berusia 20 tahun. Masih sangat muda, dan saya telah menghancurkan hidup saya begitu cepat.” Ungkapan ini memperlihatkan betapa beratnya dampak sosial dan psikologis dari represi hukum terhadap sastra yang menyentuh isu LGBT.
Danmei dan Haitang: Simbol Perlawanan dalam Sastra China
Genre danmei yang berkembang pesat di platform Haitang bukan hanya soal erotisme, tetapi juga simbol perlawanan kultural terhadap pembatasan yang dilakukan negara. Berakar dari inspirasi manga cinta anak laki-laki dari Jepang, danmei telah menjadi bagian penting dari sastra digital China, dengan karya-karyanya bahkan diadaptasi menjadi film dan serial yang sukses secara komersial. Namun karena dianggap “tidak sesuai” dengan nilai keluarga tradisional, negara mengarahkan hukuman berat terhadap para penulis, bahkan untuk pelanggaran kecil.
Dalam satu kasus, seorang penulis yang hanya mendapat royalti 4.000 yuan dari karya fiksinya di Haitang, dituduh melakukan tindak kriminal karena angka klik ceritanya mencapai 300.000 tayangan. Beberapa penulis harus membayar sendiri biaya perjalanan ke kota tempat mereka diperiksa, bahkan harus menjual rambut atau menghemat makan demi membeli alat tulis. Kini, mereka menyebut pendapatan mereka sebagai “bukti kejahatan” dalam dakwaan atas pelanggaran hukum pornografi.
Rekomendasi

Shion Hinamoto Umumkan Selesai dengan karir sebagai Seiyuu
2 jam yang lalu
Novel Kunoichi Ninpōchō karya Futaroh Yamada akan Mendapat Adaptasi Manga
6 jam yang lalu
Manga World Trigger Kembali Hiatus karena Kondisi Kesehatan Sang Mangaka
6 jam yang lalu.webp)
Nonton Donghua To Be Hero X Episode 18 Sub Indo, Preview dan Jadwal Rilis
6 jam yang lalu