Jepang
Kota Kuwana Larang Dogeza, Cegah Pelecehan Pelanggan
Kota Kuwana Larang Dogeza, Cegah Pelecehan Pelanggan

Fenomena pelecehan pelanggan kian mendapat perhatian serius di Jepang, terlebih setelah insiden viral yang terjadi di World Expo melibatkan praktik dogeza. Kota Kuwana menjadi pelopor dalam merespons isu ini dengan kebijakan tegas yang melarang staf untuk berlutut meminta maaf, guna mencegah tindakan memalukan yang merugikan pekerja. Keputusan ini tidak hanya menjadi percontohan di Jepang, tetapi juga membuka diskusi nasional tentang perlindungan terhadap pekerja yang menjadi korban tuntutan tidak manusiawi dari pelanggan.

Kebijakan Baru Kota Kuwana Terkait Dogeza dan Pelecehan Pelanggan

Kota Kuwana di Prefektur Mie kini menjadi wilayah pertama di Jepang yang secara resmi melarang staf melakukan dogeza—yaitu berlutut dan menunduk untuk meminta maaf—sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya kasus pelecehan pelanggan. Kota Kuwana menetapkan bahwa tindakan tersebut, meski terlihat sebagai bentuk penyesalan, justru membuka peluang eksploitasi terhadap staf oleh pelanggan. Terlebih, isu ini mencuat usai video petugas keamanan World Expo viral karena melakukan dogeza di depan pengunjung yang marah.

Peristiwa tersebut terjadi beberapa bulan lalu di World Expo dan memancing perdebatan publik mengenai batasan profesionalitas staf layanan. Meski perwakilan Expo menyatakan bahwa petugas melakukan dogeza secara sukarela, reaksi masyarakat tetap mempertanyakan apakah tindakan itu dipicu oleh tekanan atau intimidasi. Pemerintah Kota Kuwana menanggapi hal ini dengan peraturan konkret demi melindungi pekerja dari perlakuan semena-mena oleh pelanggan.

Kota Kuwana kini tidak hanya melarang dogeza, tetapi juga menetapkan bahwa praktik tersebut dapat digolongkan sebagai pelecehan pelanggan. Ini adalah bagian dari upaya komprehensif dalam mencegah tindak intimidasi, khususnya dalam layanan publik. Bahkan, jika terbukti terjadi pelanggaran, pelanggan akan menerima surat peringatan dan berpotensi dipermalukan secara publik jika mengulangi tindakan serupa.

Pelanggaran dan Sanksi Bagi Pelanggan di Kota Kuwana

Peraturan baru di Kota Kuwana menciptakan preseden unik karena menetapkan hukuman nyata terhadap pelanggan yang terbukti melecehkan staf. Dalam salah satu kasus yang diputuskan pada 30 Juni, seorang pelanggan memaksa kurir untuk melakukan dogeza sebagai bentuk permintaan maaf. Komite penanggulangan pelecehan pelanggan Kota Kuwana menyatakan tindakan ini sebagai bentuk pelecehan, dan pelanggan tersebut langsung menerima surat peringatan resmi.

Jika kejadian serupa terulang, nama pelanggan akan dipublikasikan sebagai bentuk celaan sosial agar tidak diikuti oleh yang lain. Langkah ini dianggap penting untuk mencegah pelecehan pelanggan yang telah menjadi isu nasional, seperti dalam kasus World Expo sebelumnya. Masyarakat menyuarakan kekecewaan mereka secara daring dengan mengatakan bahwa hukuman hanya berupa peringatan dianggap terlalu ringan. Salah satu komentar berbunyi “Orang itu harus ditangkap”, sementara yang lain menilai tindakan pelanggan sudah masuk kategori paksaan atau pemerasan.

Beberapa netizen bahkan mengusulkan agar pelanggan seperti ini dimasukkan dalam daftar hitam perusahaan pengiriman. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya respons publik terhadap tindakan tidak etis yang dipicu oleh kekuatan pelanggan atas staf layanan. Di tengah meningkatnya kasus pelecehan pelanggan, Kota Kuwana berdiri sebagai pelopor dalam menegakkan martabat pekerja.

Aspek Hukum dalam Pelecehan Pelanggan dan Dogeza di Jepang

Dalam konteks hukum Jepang, memaksa seseorang untuk melakukan dogeza tanpa ancaman kekerasan langsung memang sulit dikategorikan sebagai paksaan secara hukum. Namun, seperti yang terjadi dalam kasus petugas keamanan di World Expo atau staf yang dicukur rambutnya oleh pelanggan, apabila terdapat unsur ancaman, maka tindakan tersebut dapat masuk dalam ranah pidana sebagai pemaksaan.

Perbedaan ini menjadi tantangan hukum tersendiri karena perlu ada pembuktian bahwa pekerja merasa tertekan secara psikologis atau takut kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, Kota Kuwana memilih untuk mengklasifikasikan kasus ini sebagai pelecehan pelanggan dan bukan tindakan pidana, demi menghindari kerugian reputasi perusahaan. Meski demikian, langkah ini tetap dianggap sebagai pendekatan progresif dalam melindungi hak-hak pekerja di tengah tekanan sosial dan profesional yang terus meningkat.

Dari sini terlihat bahwa sistem hukum perlu memiliki instrumen yang lebih variatif untuk menangani berbagai bentuk perilaku antisosial, termasuk permintaan dogeza yang semakin dianggap tidak manusiawi. Langkah tegas dari pemerintah Kota Kuwana memberi contoh konkret bagaimana institusi dapat bergerak melindungi martabat pekerja, sekaligus mendidik masyarakat untuk lebih beretika dalam berinteraksi dengan layanan publik.

 

Sumber: ©︎ Sora News 24 | Dok: © Japanesse Station