Jepang
Kurangnya Representasi LGBT dalam Komite Bencana Jepang
Kurangnya Representasi LGBT dalam Komite Bencana Jepang

Sebagai negara rawan gempa, kehidupan di Jepang menuntut kesiapan menghadapi bencana. Namun, isu LGBT Komite Bencana Jepang masih menjadi sorotan. Meski sekitar 70 persen pemerintah daerah memasukkan kebutuhan LGBT dalam rencana darurat, hanya kurang dari 10 persen yang benar-benar melibatkan individu LGBT dalam komite perumusan kebijakan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait inklusivitas kehidupan di Jepang.

Tantangan LGBT Komite Bencana Jepang

Dalam kehidupan di Jepang pasca bencana, kaum LGBT menghadapi banyak kendala. Mereka kerap mengalami kesulitan di pusat evakuasi, seperti penggunaan kamar mandi bersama, pembagian ruang tidur, hingga risiko identitas terbongkar tanpa persetujuan. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan LGBT dalam Komite Bencana Jepang agar kebijakan lebih adil dan inklusif.

Upaya Positif LGBT Komite Bencana Jepang

Beberapa daerah mencoba bergerak maju. Sakai di Prefektur Osaka sejak 2018 sudah menetapkan aturan fleksibilitas penggunaan nama serta menjaga privasi di pusat evakuasi. Kehidupan di Jepang di wilayah ini lebih ramah berkat peran organisasi pendukung LGBT dalam Komite Bencana Jepang. Saitama dan Hyogo juga melibatkan akademisi untuk memastikan kebijakan lebih inklusif.

Suara Komunitas LGBT Komite Bencana Jepang

Tokoh seperti Hiroto Shimizu menekankan perlunya ruang pribadi yang aman. Pengalaman dari Gempa Hanshin 1995 hingga bencana 2011 memperlihatkan bagaimana pasangan sesama jenis di Jepang bahkan tidak bisa tinggal bersama di hunian sementara. Aktivis Gon Matsunaka dari Kanazawa Rainbow Pride menambahkan, gempa di Noto tahun 2024 membuktikan sulitnya kaum LGBT hidup terbuka. Oleh karena itu, perubahan lebih luas dalam Komite Bencana Jepang mutlak diperlukan.

 

Sumber